Riwayati

Ilmu Hukum/ 2016

Peringatan malam Nuzulul Qur’an akan tiba malam nanti. Seluruh rumah di sekitarku penuh asap yang mengepul dari atap rumah mereka. Hali ini juga terjadi rumahku, bukan saja asap kompor yang ke luar, tapi keringat dari dahi juga ikut keluar. Ibu memintaku membantunya memasak untuk santapan malam Nuzulul Qur’an nanti. Kalian tahu, di desa kecilku ini selalu menyediakan makanan untuk orang-orang yang sedang memperingati malam turunnya Al Qur’an.

Malam kini telah tiba. Aku dan Ibuku berangkat tarawih lebih awal dari biasanya. Aku mengekor di belakang Ibuku dengan tentengan kardus makanan di kedua tanganku, begitupun Ibu. Selama perjalanan aku merasa senang, akhirnya malam ini, di Ramadhan tahun ini aku sudah bisa menyumbangkan sedikit uangku untuk membuatkan makanan bagi mereka yang sedang beribadah. Tidak terasa air mataku menetes, mengingat belasan tahun yang lalu aku selalu ingin melakukan ini, maksudku bukan hanya malam ini, tapi setiap saat untuk selalu berbagi rezeki. Tapi apa daya saat itu bukan kebahagiaan yang aku dapat, Ibuku dicemooh orang lain karena kata mereka makanan kami tidak bersih. Aku kecil yang mendengarnya menjadi marah, dan selalu membenci makanan di malam Nuzulul Qur’an. Apalagi saat mereka mengataiku pergi beribadah hanya untuk sekotak makanan.

Air mataku kembali menetes. Itu belasan tahun lalu, saat aku hanya bisa menangis di pelukan Ibu saat berbagai macam omongan kasar membakar telingaku. Kamu tahu? Ibuku bilang, “Sayang, kalau kamu besar dan ingin bersedekah jangan menghina sedekahan orang lain, karena mereka juga punya hak untuk bersedekah.”

“Daa, kok bengong? Kamu kecapekan?” tanya Ibuku dengan suara lembutnya yang semakin terkikis usia.

“Enggak kok, Bu. Aku cuma terlalu seneng aja,”

“Yaudah, Ibu mau menyapa Ibu-ibu yang lain, kamu mau kan ke dalam sendiri buat naruh kardus-kardus ini?” tanya Ibuku sambil menyerahkan kardus yang ada di tangannya.

Aku tersenyum, tentu saja aku mau. Siapa yang tak mau meringankan beban Ibunya coba?

Aku masuk ke pendopo rumah Bu Nyai. Di dalam, aku disambut santri-santri putri yang dengan sigap mengambil alih kardus makanan yang bergelayutan di tanganku. Aku mengucapkan terimakasih. Hei lihat, diumurku yang kini aku terlihat tua di antara mereka. Itu terdengar lucu, karena beberapa tahun yang lalu, aku masih yang paling imut di antara santri-santri pondok pesantren dekat rumahku.

“Mbak Nadaa?” tiba-tiba datang suara yang mengejutkanku dari arah samping, aku menoleh, “Ini Mbak Nadaa, kan? Kapan pulang mbak?” Ya Allah, dia Isti, anak kecil putri Bu Nyai yang dulu selalu mengekoriku ke sana kemari, dan sekarang dia sudah tumbuh menjadi remaja cantik seperti Ibunya.

Saat itu juga aku kembali diserang rasa kecemasan, aku sudah bukan gadis muda lagi. Dan di sana-sini orang sibuk membicarakan waktu pernikahanku. Dulu itu bukan suatu beban, tapi sekarang setelah menyaksikan umur Ibu dan Ayahku yang samakin berkurang, aku mencemaskan kapan aku menikah.

“Iya, Mbak Isti, ini Nadaa. Kabar aku baik-baik aja, kamu sendiri gimana?” aku memanggilnya seperti dulu, menyebut namanya dengan embel-embel “mbak”, aku tidak tahu pasti kenapa seperti itu, karena kebiasaan zaman kecilku dulu, dan kata Ibuku, itu sebuah bentuk penghormatan karena dia adalah putri seorang Kyai.

“Baik, mbak. Omong-omong Mbak Nadaa emang jarang pulang kampung, ya? Isti nggak pernah lihat soalnya.”

“Setahun sekali, Mbak Isti, loh mbak Isti kan juga jarang di rumah, kan? Masih mondok di Surakarta, mbak? Gimana hafalah Al Qur’annya?” aku terlalu semangat menanyai ini-itu.

“Sama dong kita, iya mbak jarang, apalagi sejak Mas Ibnu tinggal di rumah. Alhamdulillah mbak lancar. Oh ya, mbak, yuk ke masjid, sholat tarawihnya udah mau dimulai,” ajaknya lalu menuntunku ke luar pendopo.

Ibnu. Tepatnya Ibnu Toha. Dia teman sekolahku dulu, tapi sudah lima tahun ini aku tidak pernah mendengar kabarnya, bahkan dari Ibuku sekalipun. Kabar terakhir yang aku dengar tentang dia adalah, dia mondok dan tinggal di tempat saudaranya di Jombang, Jawa Timur sambil menghafal Al Qur’an.

Sholat tarawih sudah selesai lima menit yang lalu. Aku dnegan inisiatifku sendiri ke luar masjid dan masuk ke pendopo rumah Bu Nyai. Di sana ternyata sudah ada Ibuku yang siap dengan nampan untuk air minum.

“Udah aku aja, Bu. Ibu duduk aja di masjid,” kataku tak tega melihat tangan tua Ibuku menahan beban nampan penuh dengan air minum.

“Ini mau tak kasihkan ke kamu, Daa” dengan senyum cerahnya Ibu meletakkan nampan di tanganku, namun aku terkejut saat tiba-tiba ada sepasang tangan yang meraih nampan itu.

“Kamu yang nyodorin gelas ke jama’ah aja, biar nampannya aku yang bawa,’ kata suara itu.

Sontak aku melihat ke arahnya, itu dia! Dia Ibnu Toha teman masa kecilku. Aku terpesona sejenak, subhanallah, aura meneduhkan menimpa wajahku yang mulai kebas. Aku menikmati pemandangan di depan mataku dengan seksama sebelum suara Ibuku membuyarkan fokus pandanganku.

“Terimakasih Mas Ibnu, emang gitu harusnya, generasi muda itu harus tanggap dan cekatan,” Ibuku lalu bertolak dan bergabung kembali dengan kumpulan jama’ah lain yang sedang duduk takzim di dalam masjid.

Aku dan dia sama-sama terkejut, setelah sekian lama, kami hanya bertemu dengan momen yang sedikit memalukan ini? Tidak, kalau boleh jujur, dia juga sempat menambatkan pandangan matanya lama ke wajahku. Aku tidak tahu makna dari itu semua, tapi intinya, kami sama-sama bahagia dengan pertemua kami ini.

Kami tidak banyak bicara sampai acara menghantarkan makanan dan minuman ke jama’ah selesai. Aku menyeka keringat di dahi dengan ujung jilbabku. Pekerjaan sederhana malam ini sangat menyita emosiku, aku yang bahagia karena pada akhirnya aku bisa dengan ringan berbagi kepada orang lain di malam Nuzulul Qur’an, dan aku yang bahagia karena akhirnya bertemu dengan laki-laki dari masa lalu.

Seorang anak kecil menabrak tubuhku. Refleks aku menahan tubuh anak itu agar tidak jatuh. Sekilas aku melihat diriku sendiri belasan tahun yang lalu.

“Loh, adik nggak ikut berdo’a?” aku menanyainya dengan lembut.

Dia hanya menggeleng dan berusaha melepas genggaman tanganku. Aku tetap memegangnya erat.

‘Kenapa?” aku bertanya sekali lagi.

Dia mulai meneteskan air mata, dengan sesenggukan dia berkata lirih, “temanku bilang aku nggak boleh amakn makanan Ibu mereka karena Ibuku nggak buatin mereka makanan.”

Tepat, aku mengalami hal serupa dulu. Pasti gadis kecil ini akan menumbuhkan ketidaksukaannya pada malam-malam seperti ini. Semua ini tidak boleh terjadi, dia tidak boleh hidup dengan perasaan seperti itu. Aku harus memberinya pengertian, pikirku.

“Sayang, kamu nggak boleh sedih karena omongan temanmu, semua orang boleh makan di sini. Kamu sekarang balik ke tempat dudukmu lagi ya, nanti mbak temenin,” aku lalu berjalan di belakangnya.

Ibnu mendekatiku, lalu tersenyum ramah dengan raut muka serius, “Nadaa, kamu udah punya calon suami?”

Pertanyaannya sekelebat menggetarkan hatiku. Dengan senyuman menghias bibirku aku menggeleng tegas, “Kalau belum ada, aku boleh kan besok lusa datang ke rumahmu dengan keluargaku?” dia lalu menambahkan. Ya Allah, malam ini hatiku sedang bergejolak dengan liar, aku hanya bisa mengangguk menanggapi pertanyaan Ibnu Toha.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

You may use these HTML tags and attributes:

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

*
= 3 + 1