Tyas Annisa Nur Ashri

S1 Ilmu Komunikasi Transfer/2015

Bukan lagi rahasia, jika Ramadhan menjadi momen istimewa bagi seorang muslim, tak terkecuali aku. Namaku Annisa dan inilah ceritaku tentang Ramadhan di usia ke-21 tahunku.

***

Ramadhan buatku memang punya kesan tersendiri. Selain jadi momen perbaikan diri, Ramadhan juga jadi waktu berkumpul dengan keluarga dan bersilaturahmi lebih sering dengan tetangga. Betapa tidak? Aku lebih banyak menghabiskan waktuku sebagai mahasiswa rantau di kota Surakarta tahun itu. Letak rumahku yang tepat di samping mesjid pun semakin mendukungku bertemu banyak orang yang lalu lalang menjelang sholat Isya dan tarawih.

“Bu, berangkat sekarang?” tanyaku saat menghampiri ibu di kursi ruang tamu.

“Iya Nis sekarang saja, bentar lagi juga Isya.” Jawab ibu sembari meraih perlengkapan sholatnya. Begitulah rutinitasku dan ibu setiap harinya. Lengket, bahkan sholat pun aku selalu di samping ibu.

***

Allahu akbar … Allahu akbar …
Allahu akbar… Allahu akbar …

Adzan Isya berkumandang. Suasana mesjid seketika berubah dengan semakin padatnya mesjid oleh jemaah yang berdatangan. Jemaah laki-laki mulai mengisi shaf bagian depan, jemaah perempuan sibuk menggelar sajadah yang mereka bawa dari rumah, hingga anak-anak yang riuh bersama kawannya menjadi suasana khas mesjid Al-Ikhlas tiap Ramadhan.

“Eh neng. Sudah pulang ya.” Sapa beberapa tetangga saat melihatku.

Ya begitulah kehidupan di desaku. Ibuku dengan profesinya sebagai seorang guru cukup membuat keluarga kami disegani di masyarakat, sehingga tak heran jika banyak yang menyapaku ketika baru muncul di tengah-tengah mereka. Aku hanya membalasnya dengan anggukan sembari tersenyum.

Ya rapatkan dan luruskan shafnya.

Suara pak Ade sebagai imam sholat telah terdengar mengintruksikan makmumnya untuk merapikan shaf.

“Bu, ayo dirapatkan ! Geser sini !” ajak ibuku pada jemaah wanita lainnya yang berada agak pojok ruang mesjid. Jemaah ‘pojok’ itu tak lain adalah ibu-ibu berusia 50 tahunan ke atas bersama anak cucunya. Seakan tak dihiraukan, jemaah pojok tetap tak beranjak dari tempatnya. Tak berhenti sampai situ, sajadah yang dibawa masing-masing jemaah perempuan pun seakan menjadi sekat untuk bisa merapatkan shaf. Padahal, bisa saja satu sajadah tersebut cukup untuk dua orang yang berbadan kecil sepertiku. Alhasil, keengganan-keengganan itu berujung kebuntuan, yang mana antar jemaah masih ada jarak satu sama lain. Tak ditemukan kaki bertemu kaki atau lengan berdempet lengan. Apa mau di kata, masalah satu ini telah menjadi masalah klasik yang bermuara pada mempertahankan keyakinan masing-masing. Sholat Isya berjamaah pun tetap berjalan.

***

Assalamu’alaikum warrahmatullah…
Assalamu’alaikum warrahmatullah…

Selepas salam, ibuku berbicara dengan suara yang pelan padaku.

“Nak, andai kamu seorang yang berilmu, kamu tahu seperti apa seharusnya sesuatu dikerjakan, maka kerjakanlah sesuai aturannya. Begitu juga dengan sholat berjamaah. Tak sedikit dari ibu-ibu di sini mengikuti pengajian tiap minggunya. Tentu saja mereka sudah khatam masalah ilmu sholat berjamaah bahkan lebih khatam dibanding ibu yang mungkin lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengajar, tapi lihat Nak ! Ketika diminta merapatkan shaf, meluruskan shaf, yang dilakukan adalah berdiam diri di tempat, terbatas dengan ruang sajadah, dan akhirnya kosong. Padahal esensi berjamaah adalah kebersamaan dalam ibadah yang sekaligus menghalau datangnya setan mengisi celah antara kita. Jika tidak begitu, entahlah Nak, apa kita masih mendapatkan pahala yang 27 rakaat itu? Atau selama ini kita berjamaah tapi ternyata bernilai kosong? sekosong jarak yang ada antar satu sama lain.”

Perkataan ibu membuatku tertegun. Aku merasa memang seperti itu realita yang ada di masyarakat kita. Mengerti ilmu tapi tak sesuai laku, mengerti ilmu berjamaah tapi tak satu arah, mengira berjamaah sebagai sholat bersama pada waktu yang sama, bukan sholat bersama yang membuat kita bisa lebih dekat dengan sesama.

“Mengerti, Nis?” ibu memandangku sembari tersenyum.

“Mengerti, Bu.” Jawabku mantap. Ibu membuatku sadar agar kita tak menganggap bahwa setiap amalan yang kita lakukan telah cukup, tapi tengok kembali dan mohonlah pada Allah agar amalan kita dinilai baik, bukan sekedar kosong.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulluah SAW bersabda : luruskanlah shaf-shafmu! Sejajarkan antara bahumu (dengan bahu saudaranya yang berada di samping kanan dan kiri), isilah bagian yang masih renggang, berlaku lembutlah terhadap tangan saudaramu (yang hendak mengisi kekosongan atau kelonggaran shaf), dan janganlah kamu biarkan kekosongan yang ada di shaf diisi oleh setan. Dan barangsiapa yang menyambung shaf pastilah Allah akan menyambungnya, sebaliknya barangsiapa yang memutus shaf, pastilah Allah akan memutuskannya.” (Shahih: Abu Dawud no 666 dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al Hakim, Nawawi, dan Al Albani)

***

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

You may use these HTML tags and attributes:

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

*
= 4 + 5