Saad Fajrul

Hubungan Internasional/2013

Perumahan Widya Asri memiliki 12 rumah dengan formasi 6 rumah saling berhadapan. Perumahan ini berdiri pada tahun 2011 dan baru 7 rumah saja yang terisi. Lokasi yang cukup jauh dari pusat kota dan berada di tengah area persawahan menjadi salah satu sebab perumahan ini sepi peminat. Bapak membeli rumah di perumahan ini karena harga yang cukup terjangkau yakni 200 juta untuk rumah tipe 48. Untuk teknis pembayaran bapak memilih untuk langsung melunasinya saja. Keluargaku memandang kredit bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Semua perabotan di rumah pun dibayar secara kontan meski harus dicicil dari mulai lampu dan alat masak. Baru 2 bulan ini keluarga kecil kami memiliki televisi dan kulkas. Perumahan kami memiliki satu surau kecil yang bisa menampung sampai 50 orang jamaah. Dari 7 rumah yang dihuni, 2 di antaranya dihuni keluarga Budha daan 5 lainnya beragama Islam. Kami semua hidup berdampingan dan sejauh ini selalu rukun tanpa ada konflik yang pernah terjadi. Perumahan Widya Asri yang sepi di sepanjang hari lambat laun membuatku terbiasa dengan kesunyian. Aku tumbuh menjadi orang yang tidak menyukai keramaian.

Televisi di rumah kami berukuran cukup besar untuk dinikmati bertiga. Keluarga kecilku hanya terdiri dari bapak, ibu dan aku sebagai anak semata wayang. Televisi keluaran merk Jepang ternama ini berukuran 32 inchi. Letak rumah kami yang cukup jauh dari perkotaan tak menghalangi masuknya sinyal televisi ke area Perumahan Widya Asri. Selama ini rumah kami hanya menghasilkan suara dari percakapan antara aku dengan bapak atau ibu. Dan juga sesekali kami berbincang dengan tetangga perihal tema-tema apa-apa yang sedang terjadi di kota. Aku cukup mampu bergabung dengan pembicaraan karena aku setiap pagi pergi ke kota untuk bersekolah di sebuah SMA swasta. Walaupun lokasinya hanya di pinggir kota, aku tetap bisa menangkap informasi mengenai keadaan kota dari hasil pembicaraanku dengan teman-teman dekatku. Dari hasil pembicaraan bersama teman dekat ini lah aku bisa membaur ke dalam perbincangan warga perumahan. Warga perumahan kami memang sangat akrab satu sama lain. Bahkan kami cukup kompak dalam berbagai hal sebagaimana lazimnya suatu komunitas masyarakat. Membeli televisi pun kami lakukan secara bersama-sama. Bapak pergi ke kota bersama 6 kepala keluarga lainnya untuk membeli televisi bersama-sama dengan mengendarai 2 buah mobil. Merk dan tipe pun dipilih secara seksama dan sama. Dengan kedatangan televisi di perumahan kami 2 bulan yang lalu, akses terhadap informasi pun semakin lancar. Aku harap perbincangan di komunitas kami akan semakin beragam dan menarik dengan adanya kemudahan akses informasi. Terlebih Ramadhan kini sudah datang sehingga akan banyak waktu santai bersama. Menunggu waktu berbuka sepertinya akan lebih menyenangkan.

Aku berteman dekat dengan Wisnu anak Pak Budi yang gemar bermain gitar. Ia adalah penghibur di perumahan kami yang sepi. Biasanya sore hari kami duduk bersama di depan rumahnya. Ibu Laksmi, ibunya Wisnu, biasanya akan keluar rumah menyajikan sepiring atau dua piring buah-buah segar untuk kami jadikan kudapan. Kami akan terus bernyanyi sampai Magrib kecuali jika Ali anak Pak Ahmad mengajak bermain bola. Kadang Husain anak Pak Hamdan juga mengajak bermain kartu uno jika kami malas menyanyi atau bermain bola. Pertemanan antar anak di perumahan sangat erat. Aku sangat menikmati hal ini bahkan aku menjadi tidak bisa seakrab ini apabila bersama teman sekolah. Karena hari sedang Ramadhan maka kami anak-anak Widya Asri mengisi waktu sore dengan duduk-duduk di masjid. Kegiatan rutin saat sedang Ramadhan adalah mengaji bersama atau mendengarkan cerita dari Mbah Sastro, kakeknya Kamil anak Pak Saleh. Mbah Sastro kerap bercerita soal masa-masa awal kemerdekaan saat beliau masih kecil. Beliau juga suka bercerita tentang nabi dan sahabatnya. Bahkan ia mengetahui hikayat para tabiin hingga hikayat melayu. Kami akan tertawa saat beliau menceritakan mengenai Abu Nawas. Gaya beliau saat bercerita memang tidak ada duanya. Kami sangat menghormati beliau sebagaimana para orang tua di perumahan kami menghormatinya.
Televisi ternyata memberi banyak perubahan di perumahan kami yang sunyi. Jam-jam tidur yang biasanya pukul 9 malam perumahan sudah sepi, kini penduduk masih betah menunda istirahat malamnya. Pagi hari pun mulai kehilangan warga yang gemar olahraga. Ramadhan kali ini juga tak luput dari pengaruh kehadiran televisi. Suasana masjid mendadak sepi dari kegiatan sore hari. Mbah Sastro pun mulai uring-uringan karena kehilangan pendengarnya. Aku yang sudah siap mendengar cerita menjadi takut kena marahnya. Tapi syukurlah Mbah Sastro bukanlah kakek yang gemar marah-marah. Setelah berpamitan kepadanya, aku pergi ke rumah Wisnu. Tidak ada gerombolan anak yang bermain musik seperti biasanya. Perumahan juga tidak ramai oleh suara anak-anak yang bermain sepak bola. Ini adalah sebuah bencana. Kemana perginya semua orang, tanyaku dalam hati. Widya Asri yang permai dan sunyi. Aku melangkah gontai pulang ke rumah tempat aku selalu bernaung. Rumah nyaman yang sudah membuatku betah terutama karena orang-orang yang menghuninya. Di rumah ku dapati bapak dan ibu sedang menyaksikan dengan seksama televisi. Kehadiranku tidak digubris mereka sama sekali. Tidak seperti dahulu dimana akan terjadi obrolan menyangkut kegiatan yang dilakukan masing-masing anggota keluarga sepanjang hari. Perlahan-lahan televisi merubah interaksi keluarga kecil kami. Tidak ada lagi sapaan ibu maupun bapak kepadaku. Aku sangat kaget melihat perubahan yang sangat drastis seperti ini. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa televisi akan memberi dampak yang sangat masif. Seolah-olah seperti di dalam film saja dimana keadaan di suatu daerah berubah secara mendadak dikarenakan suatu hal. Dan ini benar-benar terjadi di Perumahan Widya Asri yang indah.
Keadaan genting ini harus diatasi sesegera mungkin. Aku harus berusaha mengembalikan keadaan perumahan tercintaku seperti semula. Dengan segenap keberanian aku datangi Wisnu dan ku katakana padanya tentang dampak-dampak dari keberadaan televisi di perumahan kami. Aku sendiri memilih Wisnu karena dia anaknya sangat mudah dipengaruhi oleh teman-teman dekatnya. Mbah Sastro yang sedari awal tidak setuju dengan keberadaan televisi juga menjadi sekutu bagi kami. Investigasi akan aku lakukan bersama dengan partnerku, Wisnu yang lugu.

Segera saja data-data kami kumpulkan. Sumber-sumber berupa hasil penelitian mengenai dampak televisi terhadap masyarakat aku peroleh dari perputakaan dan warung internet. Kali ini aku merelakan uang sakuku habis untuk menghabiskan waktu berjam-jam di warnet. Padahal biasanya aku hanya menumpang di kamar kos temanku yang kebetulan memiliki akses internet. Wisnu berusaha sebaik mungkin mewawancarai beberapa pengamat masyarakat di kampus negeri kota kami. Status sebagai anak dosen dimanfaatkannya secara benar kali ini. Selama ini ia hanya memanfaatkan status tersebut untuk berbangga diri di hadapan teman bermainnya. Mbah Sastro juga berandil besar dalam investigasi ini. Ia menggunakan kewibawaannya untuk mengumpulkan warga 2 minggu lagi di kediaman Pak Hanafi. Bersamaan dengan diadakannya pertemuan warga berakhirlah investigasi kami. Data-data sudah disiapkan. Rekomendasi kebijakan telah aku ketik rapi di atas kertas A4 dengan font Times New Roman ukuran 12 dengan margin normal.

Sebagai pembukaan Mbah Sastro menyampaikan keluh kesahnya mengenai sepinya suasana perumahan belakangan ini. Ia belum menyebut televisi sebagai biang keladi. Wisnu kemudian maju ke hadapan para hadirin sekalian. Ia bercerita bahwa televisi telah merenggut kasih saying orang tua darinya. Bisik-bisik tidak suka mulai terjadi di kalangan hadirin semuanya. Seakan-akan peserta pertemuan terbelah menjadi 3 kubu. Kubu pertama adalah kubu yang pro dengan kehadiran televisi. Kubu kedua adalah mereka yang terpengaruh dengan pidato Mbah Sastro dan Wisnu sehingga mendadak menjadi kontra televisi. Sedangkan sisanya memilih tidak berkubu dengan mendirikan gerakan non blok. Sekarang adalah giliranku untuk maju ke depan. Kiranya orasiku akan mempengaruhi hasil akhir dari pertemuan ini. Aku sedikit gugup dan tiba-tiba tanganku menjadi gemetar. Ibuku yang masuk ke dalam kubu kontra mengedipkan mata seolah ingin mengatakan “kamu bisa, nak”. Dengan mengucap basmalah aku paparkan semua unek-unekku. Dengan berapi-api aku tampilkan data-data dan fakta. Tak lupa hasil wawancara dari para ahli kemasyarakatan ku tampilkan di depan para hadirin. Di tengah suasana yang semakin memanas dan tak tentu arah aku sampaikan rekomendasi yang telah kami siapkan sebelumnya. Kuota masing-masing rumah satu televisi akan disusutkan menjadi satu televisi untuk satu perumahan. Pertimbangannya adalah bahwa tidak bisa dipungkiri informasi telah menjadi kebutuhan sehari-hari. Hiburan televisi juga tidak semuanya berisikan konten negatif. Kubu pro televisi mengangguk setuju dengan usulan ini. Bagi mereka tidak masalah jika jumlah televisi hanya satu asalkan tetap ada dan bisa digunakan. Kubu kontra juga menanggapi rekomendasi ini dengan anggukan. Mereka berpendapat tidak ada salahnya untuk menonton televisi selama tidak mengganggu kegiatan sehari-hari. Mereka yang tadinya memilih tidak berkubu dan membentuk gerakan non blok kini membentuk gerakan baru yakni sehari cukup tiga jam saja menonton televisi. Pak Hanafi mengusulkan garasinya untuk digunakan sebagai tempat menonton bersama. Beliau tidak memiliki rencana untuk membeli mobil sehingga garasinya kosong setiap hari.

Ramadhan kembali berjalan seperti dahulu kala. Warga Widya Asri kini kembali bercengkrama di depan rumah bersama tetangga. Ku anggukkan kepala sembari tersenyum melewati mereka saat pulang sekolah tadi. Setelah mandi dan memakai baju aku bergegas ke masjid supaya tidak ketinggalan cerita dari Mbah Sastro. Ku lihat beberapa warga sedang asyik menonton berita di garasi Pak Hanafi. Ramadhan terasa indah sekali tahun ini.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

You may use these HTML tags and attributes:

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

*
= 5 + 2