Afif Muchlisin

Kesibukan pedagang begitu terlihat sejak matahari mucul dari peraduannya. Hilir mudik orang membawa barang dagang. Memadati jalan yang hanya cukup dilewati dua orang ketika papasan. Beberapa sudah mulai membuka kiosnya tak sedikit pula yang menggelar dagangannya di luar kios karena memang tidak menyewa, hanya berjualan di pasar tersebut ketika hari tertentu dan jika ada barangnya. Pasar ini tidak terlalu ramai. Meski pasar ini dekat dengan lokasi-lokasi strategis stasiun, terminal dan sekolah-sekolah. Bahkan letaknya yang berada di tengah-tengah kota, maka dinamakan lah pasar ini Pasar Tengah.

Perputaran uang di tempat ini tidak begitu besar, barang yang dijual juga hanya seperti biasa, tidak ada yang khusus dari pasar ini. Hanya kebutuhan sehari-hari biasa. Dari segi bangunan tidak ada yang istimewa, tetap saja terlihat seperti kios kumuh. Banyak yang jualan tapi bukan ada di kios, malah di sepanjang jalan dekat pasar. Berderet orang berjualan sepanjang jalan pinggir pasar. Sebab kondisi kios yang bisa dikata sudah tak terlalu layak, juga kerena jumlah kios yang sedikit. Pedagang lebih memilih di luar pasar dan sepanjang jalan.

Waktu itu di salah satu sudut pasar aku sedang terbangun dari mimpi, usiaku masih sumuran pelajar SMP, remaja yang sering kali dianggap sebagian besar masyarakat sebagai kumpulan orang yang pergaulannya bebas, tanpa aturan dan dengan tampilan yang menakutkan. Disebabkan oleh tattoo yang ada di tubuh. Hampir memenuhi keseluruhan. Tak kalah, anting yang membuat telingan menjadi bolong besar. Jarum tindik yang ditancapkan di hidungnya, membuat orang yang mendekat merasa gentar.

Sinar matahari menyilaukan mataku saat dimana pasar mulai ramai karena hari beranjak siang. Dilihat jam di dindingnya yang tidak menempel di dinding, hanya kayu lapuk, sudah pukul 10.00. sebenarnya ini bukan rumah, tapi kios pedagang yang sudah tidak kepakai dan sampai sekarang tidak ada penyewanya. Maka oleh orang tuaku disewa sebagai tempat tinggal. Meski sebenarnya tidak jauh dari pasar terdapat rumah susun yang telah dibangun pemerintah, namun alasan biaya tetap tidak bisa dibayarkan oleh orang tuaku, dipilihlah kios pasar yang tidak terpakai ini untuk tinggal. Ada beberapa kios tidak terpakai karena tidak laku, apalagi dengan kondisi kios yang memprihatinkan, terlalu kedalam dan sudah tidak terlalu layak jika digunakan untuk berjualan barang. Beberapa warga yang tergusur dari proyek dan tidak kuat membayar biaya rumah susun akhirnya juga menempati bekas kios ini.

Ku niatkan untuk beranjak dari tempat tidur lusuh, duduk sebentar mengumpulkan nyawa kembali setelah mimpi tidak jelas, seperti hidupku saat ini yang tak jelas arah. Kuambil handuk dan gayung berisi sabun mandi, berjalan gontai menuju toilet umum pasar. Seringkali ku melihat teman-temanku dulu di sekolah sebelah pasar, yang saat ini masih bisa mengenyam pendidikan, sedang istirahat dan beraktivitas di sekolah tersebut. Dari sini memang bisa melihat sekolah yang letaknya tidak jauh dari belakang pasar. Sejak lulus SD aku tidak melanjutkan pendidikan karena kendala biaya. tak ada uang untuk bisa masuk sekolah yang paling murahpun. Karena pda waktu dulu belum ada bantuan dari pemerintah untuk sekolah gratis, baru 2 tahun lalu program dana bantuan sekolah ada. Mungkin memang nasib ku tidak seberuntung mereka.

“Baru bangun San?” tanya penjaga toilet umum pasar

“Hmmm..” jawabku singkat ke penjaga toilet sambil melambaikan tangan melangkah gontai memasuki kamar mandi.

Setelah selesai tanpa meninggalkan uang kepada penjaga, karena sudah termasuk biaya sewa kios atau lebih tepatnya tempat tinggalnya.

Aku berdandan dengan rapi memakai sepatu hitam mengkilat, kaos hitam bertuliskan ‘Punk Sejati Tak Pernah Mati’. Ditambah dengan rompi dengan juluran rantai kecil yang dipasang di depan. Celana juga warna hitam lusuh, memaiaki peluru senjata yang digelungkan di pinggang, mirip dijadikan sebagai sabuk, celana dibolong sana sini ditambah satu lagi topi punk. Siap untuk ke jalanan, Mengamen. Pekerjaanku untuk mendapatkan uang memenuhi kebutuhan. Melawan panasnya terik matahari dan banyaknya polusi kendaraan. Sebelumnya aku pamit ke orang tuaku, ibuku jualan di Pasar Tengah ini, hanya tidak menggunakan kios tapi dengan meja di pinggir jalan. Ibuku jualan nasi sayur dari pagi hingga habis laku terjual. Ibu berjualan nasi sayur untuk melayani para penjual kios yang belum sempat sarapan ataupun pada saat makan siang. Meski saat ini sedang bulan puasa, tak sedikit pedagang yang tidak menjalankan ibadah ini. Mereka tetap makan seperti hari-hari biasa.

Aku pun kadang puasa, kadang juga tidak, hehe. Lalu kucium tangan ibuku, ia berpesan agar tetap hati-hati untuk tidak membuat onar. Ibu tidak terlalu mempermasalahkan aku menjadi anak punk asal tidak menganggu ketertiban dan aku sendiri tidak menato kulit, hanya pakaian saja yang style punk. Aktifitas mengamen aku dulu karena disuruh Pak Dani penjaga warung belakang pasar agar aku bisa mandiri mencari uang. Saat itu aku diajak naik bis dan mengamen, diajari lagu dan cara main gitar sampai bisa setiap malamnya. Kini mulai berubah, malam hari kugunakan belajar bersama. Aku masih punya harapan untuk bisa sekolah.

“Santo pamit dulu bu,”

“Iya hati-hati, jangan mengacau” jawab ibu sambil melayani pembeli

Keluarlah aku dari keramaian jual beli di pasar, menunggu sejenak, melambaikan tangan untuk menghentikan bus. Aku berdiri di halte sambil menenteng gitar kecil kesayangan. Siap siap untuk menyanyikan lagu di dalam bus penumpang. Melihat penumpang yang bejubel membuat agak susah untuk bergerak. Tapi tetep aku lakukan memainkan gitar kecil demi koin-koin penghidupanku.

Bus hampir sampai terminal, selesai aku menyanyikan sebuah lagu, kuedarkan plastic wadah uang, kuucapakan terimakasih kepada semua penumpang, lalu aku turun sebelum bus sampai posisi pemberhentian penumpang. Kulangkahkan kaki ke salah satu sudut terminal, dimana tempat perkumpulan anak-anak punk disitu berada.
Menunggu adalah hal yang paling membosankan, bagi Salim yang kuliah di semester 8 menunggu dosen pembimbing menjadi aktivitas rutin. Duduk di depan ruang dosen untuk melakukan konsultasi skripsi. Siang itu pukul 13.30 Salim selesai menemu dosen pembimbing dengan muka cerah. Proposal skripsi dan interview guide yang akan digunakan sudah mendapat persetujuan. Esok hari tinggal menuju ke lokasi penelitian. Hari ini ia pulang dengan suasana hati yang cerah.
Matahari hampir tenggelam di peraduannya, Setelah mengamen turun dari bis, langsung berjalan di lorong terminal, berjalan berdesak-desakan dengan banyak orang. Lorongnya memang agak kecil ditambah ada beberapa pedangang yang ngeyel berjualan di tepi lorong. Terlihat arah panah menuju toilet belok ke kanan, dibelakang toilet persis di situlah warung basecamp kami. Warung Bu Hani. Aku masih berkumpul dengan kawan-kawan di salah satu sudut terminal dekat dengan toilet umum, kebetulan disitu terdapatlah warung makan, jadilah tempat untuk menghitung hasil jerih payah kami.

Petang itu, aku dan 3 kawanku kembali ke rumah (pasar), dengan menaiki bis menuju ke rumah bersama-sama. Biasanya aku ngamen berdua dengan kawan lain, tapi karena hari ini Syamsul ada pekerjaan lain bersama Sindy dan Retno. Mereka bertiga mendapat kerjaan yang tidak tetap sebagai kuli bangunan, kadang juga ikut nyablon ketika ada pesanan di salah satu tempat konveksi di kota ini.

“Dapet berapa hari ini? Tanya syamsul memecah lamunanku di dalam bis

“Nggak banyak, 50 ribu lah ini”

“Jika tabunganmu mencukupi, perbaikilah alat musikmu itu, bunyinya ketika dipetik sudah tidak sesuai”

“Nantilah kalau udah cukup, uangnya masih dibutuhkan untuk kebutuhan lain” jawabku dengan tenang sambil menengok ke luar jendela, melihat lampu-lampu sepanjang jalan kota menerangi. Terlihatlah seroang pedagang pinggir jalan mulai mendirikan tenda dan memasang gerobak untuk mencari lembar dan koin kehidupannya. Orang-orang berdatangan mampir sekedar untuk membatalkan puasa. Meja digelar di pinggir-pinggir jalan yang menjual minuman dan hidangan takjil. Kota ini memang ramai, terlebih malam hari, dari pasangan muda-mudi sampai yang sudah tua. Indah. Selalu indah pemandangan kota ini di malam hari.

Sesampainya, kami turun dari bis, berjalan memasuki area pasar kecil dan kumuh, ku taruh gitar kecilku di sudut kamar, lalu berjalan mengambil handuk dan membersihkan badan. Meski sebagai anak punk, kebersihan tetap dijaga. Malam itu ketika aku, Syamsul, Sindy dan Retno berkumpul di depan kios sambil duduk-duduk, kami merencanakan untuk pergi, kebetulan di Pacitan akan ada konser punk, berniatlah kami juga untuk kesana.

Tidak jauh dari tempat kami berkumpul, datanglah 2 orang yang sepertinya ku kenal sedang berjalan kemari, dia Mbak Nur, yang sering membersamai kami dalam belajar. Kami punk juga masih rajin belajar, ya gak semua sih, ada yang memang sudah anti belajar. Tapi bagiku belajar adalah kewajiban semua orang, harus mendapatkan pendidikan. Aku selalu berpikir, ketika hanya lulusan SMP atau SMA saja cuma bisa menjadi buruh tani. Kecuali kalau aku mau berbisnis sendiri, tapi taka da bakat bisnis. Akan tetapi ketika aku bisa menjadi lulusan jurusan teknik mesin, aku berniat membuat mesin traktor yang lebih praktis dan cepat, bisa membajak tanah sekaligus menanam padinya. Mbak Nur ini yang berbaik hati mau membersamai selama 5 tahun kami belajar, terutama pelajaran sekolah formal, tak hanya itu, keterampilan lainpun kami belajar dari Mbak Nur.

“Assalamualaikum, Santo dan kawan kawan..” sapa Mbak Nur melihat kami sedang ngumpul.

“Waalaikumussalam” serentak kami menjawab.

“Wah lama sekali nggak kemari Mbak Nur”

“Iya santo maaf ya kemarin-kemarin sedang ada urusan”

“Kita mau belajar lagi mbak malam ini?” tanya Retno.

“Enggak Retno, malam ini mau ngenalin teman Mbak Nur” sambil menunjuk ke orang yang tak ku kenal. Tapi sepertinya ia masih seumuran dengan Mas Syamsul, orang kuliahan.

“Salim, kenalkan”

“Salim kuliah?” tanya sindy

“Iya mbak di UNS” jawab Salim dengan sopan.

“Dia mau ada penelitian ke kalian, dia meneliti tentang anak jalanan ” terang Mbak Nur

Kecuali Mas Syamsul dan Sindy tidak terlalu senang dengan kedatangan orang lain yang beda kepentingan. Seringkali orang datang hanya sementara, hanya demi kepentingan setelah selesai, sudah. Enak cuma datang dan pergi begitu saja.

“Banyak yang kami tolak mbak yang meminta penelitian” kata Mas Syamsul

“Kenapa Sul kamu tolak? Kali ini spesial, dia bisa mengajari kalian belajar sekalian, bisa saling bantu lah” jawab Mbak Nur

“Kami mau berhenti belajar mbak” timpal Sindy dengan wajah masam

“Kenapa? Belajar penting bagi kita” dengan tenang Mbak Nur menjawab. Memang sering kali mereka hilang semangat belajar, karena banyak faktor, entah capek atau hari itu tidak mendapat hasil ngamen banyak.

Sindy dan Mas Syamsul mulai malas dan seperti biasa meninggalkan tempat dimana kami berkumpul menuju ke belakang kios. Tersisalah aku dan Retno yang memang kami senang belajar, jujur aku masih ingin bisa sekolah, karena kendala dana aku tak bisa lagi melanjutkan pendidikan. Kedatangan Mbak Nur sangat membantu bagiku dan Retno. Retno masih punya keinginan belajar, bahkan ibadah ia masih rajin.

“Tadi ngamen dapet lumayan San? Tanya Mbak Nur

“Alhamdulillah mbak bisa buat sahur besok, cukuplah”

“Oh iya, puasa kalian berdua belum ada yang bolong kan? timpal Mbak Nur.
Santo dan Retno garuk-garuk kepala yang tak gatal dan senyum-senyum sendiri.

Suara adzan merdu mulai berkumdang dan bersahut sahutan. Kebetulan dekat pasar, ada masjid cukup besar, parkiran luas. Masjid ini baru selesai dibangun 1 tahun yang lalu mendapatkan bantuan dari pemerintah. Malam ini kami shalat tarawih disitu bersama. Jamaah di masjid ini begitu ramai, penghuni rusun semua pada ikutan shalat tarawih. Di masjid ini kegiatan keagamaan cukup bagus. Pengajian-pengajian juga ada rutin. Setelah shalat tarawih kami belajar ngaji sebentar, Retno dengan Mbak Nur sedangkan aku sama Salim.

Pengeras suara menara masjid berbunyi, salah satu jamaah membangunkan lewat pengeras suara. Waktunya sahur tiba. Aku bangun dan keluar sebentar mencari makan, sedang Retno dan ibuku menunggu di rumah kecil kami. Kami makan sahur bersama, tugas tambahanku membangunkan Mas Syamsul dan Sindy, susahnya minta ampun. Semalam mereka berdua lebih memilih untuk nongkrong di warung belakang pasar. Entah sampai jam berapa, pagi ini mereka berdua sulit dibangunkan. Mereka berdua memang jarang puasa kalau ramadhan. Ngakunya sih puasa, jam 10 biasanya makan. Kami tidak seberuntung orang di luar sana yang mendapatkan ilmu agama banyak. Ada Mbak Nur selama 5 tahun aja sudah bersyukur.

Salah satu anggota keluarga kami disini ada Mas Zainal namanya, beliau sudah memiliki satu momongan. Baru 3 pekan kemarin istrinya melahirkan. Mas zainal lumayan rajin kalau pas bulan puasa gini tetap berpuasa. Bekerja beratpun masih dilakoni di bulan puasa.

Kegaitan yang selama ini dilakukan oleh Mbak Nur tidak mendapat respon baik dari beberapa kawan di pasar. Sedikit merasa terganggu karena dianggap menyita waktu bekerjaku dan Retno. Ketika mereka mengamen kadang aku dan Retno belajar dengan Mbak Nur.
Pemilik warung belakang pasar juga merasa tak senang dengan Mbak Nur dan mahasiswa yang diajak bersamanya. Ia merasa 2 orang ini telah menganggu pola pikir dan kebiasaanku dan Retno.

Pernah pada suatu waktu Pak Dani yang punya warung belakang pasar mengusir Mbak Retno dan Salim. Ia berteriak dan menyuruh Mbak Retno untuk tidak kembali kesini. Jangan menganggu waktu anak-anak bekerja mencari uang. Namun Mas Zainal selalu mebela. Menjelaskan dengan alasan baik. Mas Zainal paham selama aku bisa membagi waktu dengan baik antara kerja dengan belajar tidak mempermasalahkan. Zaman sudah berkembang pesat, gak belajar bisa sesat dan tertinggal.

Adu mulut dan adu fisik kadang terjadi antara Mas Zainal dan Pak Dani. Mungkin karena merasa setorannya menjadi berkurang, waktuku tersita dengan belajar, Pak Dani jadi sering marah. Pernah sampai memecahkan botol minuman di hadapan kami. Mas Zainal tak pernah berhenti membela kami.

Suara bedug terdengar di setiap masjid sekitar, diiringi gema takbir dan mainan kembang api oleh anak-anak menambah suasana menyambut lebaran menjadi lebih meriah. Tak terasa bulan puasa berjalan begitu cepatnya, esok udah mulai lebaran. Satu hari sebelum Idul Fitri, saat itulah Mas Zainal pulang kampung menuju ke Malang. Lepas maghrib berpakaian rapi, memakai celana kain dan berpeci, untuk mengurangi rasa dingin ia kalungkan surban di lehernya. Perjalanan mudik naik kereta dari stasiun depan Pasar Tengah, bersama istri dan anaknya.

Menunggu kereta datang, duduk di kursi tunggu, datang seorang membawa tas besar yang juga akan mudik, ia mengaku teman dari Pak Dani. Namun karena harus ke toilet sebentar, ia titipkan kepada Mas Zainal untuk menjaganya. Ditunggu lama tak kunjung datang orang asing tadi, waktu keberangkatan kereta sudah mendekati. Dengan wajah cemas dan khawatir Mas Zainal melihat ke kanan kiri. Pada akhirnya karena sudah jam berangkat kereta, ia berpikir untuk meninggalkan barang dengan menitipkan kepada satpam yang berjaga disana.
Masjid sebelah Pasar Tengah sedang berkumandang takbir, bedug dipukul dengan irama merdu. Bentuk syukur terhadap tuhan yang Maha Esa telah usai ibadah puasa ramadhan. Para jamaah mengumandangkan takbir bersama-sama di dalam masjid. Esok sudah lebaran. Persiapan Idul Fitri. Anak-anak bermain ceria di halaman masjid. Kembang api dihidupkan, tak sedikit yang bermain petasan kecil. Bergembira dan ceria anak-anak menyambut datangnya lebaran. Sebagian anak memamerkan baju baru. Berharap kembali kepada suci dengan pakaian baru. Langit menjadi indah dengan tebaran kembang api yang dinyalakan anak-anak. Suara letusan kembang api menggaung di langit-langit. Dari jarak yang tidak jauh dari masjid itu, terdengarlah suara ledakan sangat keras, seperti bom.
Orang berhamburan menyelamatkan diri, ledakan baru saja terjadi ketika Mas Zainal akan menitipkan barang tas tersebut kepada petugas satpam. Saksi yang melihat kemudian mengatakan bahwa itu bom bunuh diri. Petugas yang tersisa langsung mencoba menyelamatkan calon penumpang yang bergeletakan, terpental kena ledakan bom. Sebagian lain mencoba memadamkan api yang berkobar di tempat tunggu keberangkatan. Suara rintih kesakitan dan tangisan terdengar begitu pilu. Hiruk pikuk orang berlarian keluar, jikalau ada ledakan susulan. Salah satu petugas keamanan langsung menelepon ambulan dari rumah sakit terdekat.

Ledakan dahsyat terjadi di momen yang seharusnya dirayakan bersama keluarga dengan senang hati. Peristiwa ini mencederai lebaran. Selang beberapa waktu, datanglah ambulan dan petugas medis membantu para korban. Tak terkecuali para jurnalis dan wartawan meliput di tempat kejadian. Hasil informasi dari saksi mata, bahwa itu adalah ledakan bom bunuh diri yang dilakukan orang bersurban dan berpeci.

Aku yang mendengarnya ledak bom itu, langsung memakai sandal berlari masjid ke stasiun menerobos sesaknya orang berlalu lalang dan asap yang masih sedikit mengepul. Dengan cemas aku memikirkan Mas Zainal. Jasad Mas Zainal dan keluarga tergeletak. Aku melihatnya. Menangis ku didepannya. Tak mungkin ini terjadi. Bayi yang belum ada satu bulan, pernikahan Mas Zainal yang belum lama. Mengapa kebahagiaan ini terenggut dengan cepat. Baru kemarin bahagia bisa punya momongan. Setiap orang selalu mendambakan memiliki keturunan baik. Ditambah momen lebaran ingin bertemu dengan keluarga. Memperlihatkan anaknya kepada orang tua mereka Mas Zainal dan istrinya. Berharap mereka senang melihat cucu yang baru lahir.

“Ini tidak mungkin!!!!”

Jamaah masjid yang mendegar ledakan tadi juga langsung berhamburan keluar dan memberikan pertolongan kepada para korban ledakan. Beberapa masih bisa berjalan dengan tertatih, beberapa harus dilarikan ke rumah sakit. Taksi-taksi yang masih bisa dioperasikan langsung membawa korban ke rumah sakit terdekat. Ambulan yang datang tidak mencukupi membawa korban ledakan.

Malam itu tersiar beritanya secara live, hingga berita bahagia lebaran tenggelam tak terdengar. Salah satu saksi mata ada kenal dengan Mas Zainal, dan saat itulah melihat kejadian ledakan. Tersiar kabar, bom bunuh diri tersebut, pelaku adalah Mas Zainal, ia dikenal sebagai sosok yang rajin beribadah dan kerja keras. Aku terus bergumam.

“Bukan Mas Zainal Pelakunya, bukan beliau pelakunya!! Aku yakin!”

Malam itu, orang tak bersalah harus kalah. Media massa menyiarkan berita ledakan itu begitu cepat, informasi yang didapat tak kalah cepat menanyai saksi-saksi mata. Manusia tetap memiliki salah dan keterbatasan. Apalagi media. Tak pernah lepas pula dari keterbatasan. Fakta yang sebenarnya tak dapat terekam dengan benar. Tak ada yang tau isi hati seorang. Tak ada yang tau niat baik atau buruk seseorang. Hanya tuhan yang bisa menilai dan menerima amal manusia.

Esok harinya Shalat Idul Fitri dilaksanakan dengan suasana yang mengharukan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

You may use these HTML tags and attributes:

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

*
= 4 + 1